Sekilas tentang Panglima Besar Jendral Sudirman: Sudirman memulai karier militer sejak masa penjajahan Jepang tahun 1943 sebagai perwira Peta (Pembela Tanah Air); menjadi Komandan Resimen Purwokerto setelah merdeka. Menjabat Panglima Divisi V Purwokerto, Sudirman merangkap menjadi pimpinan tertinggi Angkatan Laut.
Selanjutnya, ia menjabat Panglima Besar TKR, Panglima Besar TRI, Panglima Besar Angkatan Perang, Panglima Besar Angkatan Perang Mobil, dan Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat. Jenderal Sudirman menempuh pendidikan HIS Taman Siswa, Mulo Wiworo Tomo, HIK Muhammadiyah, dan pernah mengajar di HIS Muhammadiyah Cilacap, 1942.
Tahun 1936, Sudirman menikah dengan Siti Alifah dan memiliki sembilan anak. Lahir 24 Januari 1916, Sudirman wafat 29 Januari 1950 karena sakit paru-paru 1950 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Meski telah meninggal, semangatnya sebagai panglima besar tidak mati. Selama masa gerilya, Bapak TNI itu juga menebar bibit kemanunggalan TNI dan rakyat agar kemerdekaan tetap lestari.
Dimasa pendudukan Jepang, Sudirman sangat memperhatikan masalah sosial. Ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Ia juga menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Keresidenan Banyumas.
Pada masa itu pula Sudirman mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Kemudian ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Jasa pertama Sudirman setelah kemerdekaan ialah merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Panglima Divisi V / Banyumas dengan pangkat kolonel. Bulan Desember 1945 ia memimpin pasukan TKR dalam pertempuran melawan Inggris di Ambarawa. Tanggal 12 Desember dilancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Akhirnya pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Dalam Konferensi TKR tanggal 12 Nopember 1945 Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR. Lalu tanggal 18 Desember 1945 ia dilantik oleh Presiden dengan pangkat Jenderal. Sejak itu TKR tumbuh menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sejarah Tandu Sudirman: Sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, Jendral Sudirman sedang sakit, tetapi ia menolak saran Presiden untuk tetap tinggal didalam kota. Kurang lebih tujuh bulan ia mempimpim perang gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung. Banyak penderitaan yang dialaminya terutama penyakitnya sering kambuh dan tidak tersedianya obat-obatan.
Menurut kesaksian dari seseorang Purwosari, Gunung Kidul, tentara-tentara memanggil beberapa warga/pemuda di perbatasan desa untuk membantu memanggul tandu Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Pada saat itu, Sudirman memimpin perang gerilya dalam kondisi sakit dengan hanya satu paru-paru berfungsi. Hampir seluruh perjalanan gerilya sepanjang 1.009 kilometer itu, Sudirman ditandu dan sesekali naik dokar yang ditarik manusia. Tak hanya wong cilik yang terlibat menggotong tandu pimpinan tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) itu, anak buah Sudirman, Kapten Cokro Pranoto dan Suparjo Rustam, ikut menarik dokar. Suwondo, dokter pribadinya, membantu mendorong dokar.
Gerilya berlangsung setelah ibu kota perjuangan Yogyakarta diserbu Belanda, 19 Desember 1948-10 Juli 1949. Tanda-tanda rute gerilya itu masih kentara dengan pemasangan papan-papan bertulis Rute Gerilya Jenderal Sudirman yang terpasang hingga pelosok pedesaan.
Melintasi hutan dan wilayah perbukitan, Sudirman mengacaukan mental pasukan Belanda dengan taktik perang gerilya. "Kala itu, Belanda mengklaim Indonesia tidak ada lagi. Tentara gerilya dianggap ekstremis dan gerombolan," ujar Kepala Seksi Pemandu dan Pameran Museum Pusat TNI Angkatan Darat Dharma Wiratama Mayor Riko Sahani, Jumat (13/8).
Bertolak dari rumah dinas di Bintaran, 19 Desember 1948, Sudirman membawa satu kompi pasukan menuju Parangtritis. Rombongan memasuki Gunung Kidul melalui Kecamatan Purwosari, Panggang, hingga Playen.
Di Wonosari, rombongan gerilya disambut pendaratan pasukan Belanda dengan parasut. Rombongan berjalan menuju Wonogiri (Jawa Tengah), Pacitan, dan Ponorogo (Jawa Timur) lewat Semanu. Sudirman sempat membangun markas selama tiga bulan di Nawangan, Pacitan. Konsolidasi digelar untuk merebut kembali ibu kota Yogyakarta dari Belanda.
Dari wilayah gerilya, Sudirman mengonsolidasi serangan umum 1 Maret 1949 merebut Yogyakarta. Serangan umum dipancarkan melalui radio rahasia Angkatan Udara Republik Indonesia di Banaran, Playen, Gunung Kidul.
Peralatan stasiun radio AURI diletakkan di dapur rumah keluarga petani Pawirosetomo. Pembangkit listrik disembunyikan di tungku tanah dan ditutupi kayu bakar. Antenanya direntangkan pada dua batang pohon kelapa.
Siaran radio tersebut ditangkap All India Radio dan dipancarkan ke seluruh dunia hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahu Indonesia masih ada. PBB mendesak Belanda menggelar perundingan meja bundar. Melalui perundingan itu, Belanda mengakui kedaulatan RI.
Setelah bergerilya tujuh bulan, Sudirman dan rombongannya kembali ke Yogyakarta pada 10 Juli 1949. Sejak itu, karena masih sakit, ia tidak dapat memimpin Angkatan Perang secara langsung, tetapi buah pemikirannya selalu dibutuhkan oleh Pemerintah. Pada masa itu, rakyat pedesaan ikhlas membantu perjuangan dengan membuat dapur umum dan menjamin ketersediaan pangan bagi tentara.
Seorang warga Parangtritis bernama Giyono mengaku pernah menyaksikan Sudirman ditandu. "Kalau dia sedang lewat, masyarakat akan menyambutnya dengan ke luar rumah. Ada sebagian warga yang secara ikhlas memberikan bekal makanan kepada pasukan Sudirman," katanya.
Baginya, Sudirman adalah sosok yang tangguh, tidak kenal menyerah, dan tidak cengeng. Giyono masih ingat kondisi Sudirman saat ditandu. "Sering batuk-batuk. Badannya kurus," katanya.
 |
Add caption |
Bagi saya pribadi, sosok seorang Panglima Besar Jendral Sudirman juga merupakan salah satu sosok terhebat yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Menurut saya, beliau adalah sosok seorang yang mempunyai charisma tinggi dan memiliki kemampuan berpikir yang sangat hebat yang bahkan sanggup membuat Indonesia menang tanpa dia sendiri harus turun menyerang ke medan tempur. Pemikirannya yang hebat itulah yang dibutuhkan orang Indonesia di jaman sekarang ini.